Assalamu'alaikum.
Kemarin Pak Suami nyeletuk, "Eh, bulan ini ternyata udah 15 tahun jadi wartawan bola." Saya langsung manggut-manggut, gak tau mesti bilang apa. Soalnya belum sarapan. Hahaha! Nggak deeng, saya cuma lagi flashback aja begitu dia ngomong gitu.
Whew, lima belas tahun itu bukan waktu yang singkat. Lima belas tahun yang lalu saya kenal dengan dia lewat chat room, masih berstatus pengusaha warnet milik sendiri. Masih gondrong, penampilan ala anak metal, badan masih cungkring, dan naik Vespa ke mana-mana. Beberapa bulan kemudian, karena begitu "jadian" (duile, istilahnya bikin eneg banget) saya udah kasih ultimatum potong rambut dan cari kerja, dia diterima bekerja di sebuah majalah olahraga, SPORTIF, lewat ajakan salah satu teman baiknya. Seperti kebanyakan nasib sarjana di Indonesia, pekerjaan nggak harus sesuai pendidikan, pekerjaan yang jauh banget dari gelar sarjana hukumnya waktu itu pun langsung diambil. Daripada nggak kerja? Sementara udah kebelet kawin. Camer mana mau ngelirik kalo belum punya kerjaan tetap. Wkwkwkwk.
Setelah 2 tahun dia kerja di SPORTIF, baru berani ngelamar cewek kece ini. Maka menikahlah kami dan resmilah saya menjadi istri seorang wartawan bola. Posisinya waktu itu masih reporter. Benar-benar posisi awal dalam struktur kepegawaian di sebuah media cetak. Pelan-pelan saya dan keluarga besar belajar, kalau jam dan gaya kerja wartawan nggak bisa disamakan dengan profesi kantoran lainnya. Berangkat menjelang sore, dan pulang menjelang pagi, itu udah biasa. Orang tua saya yang tadinya khawatir, akhirnya bisa menerima juga. Karena, ya mau gimana lagi? Wkwkwkwk.
Ketika Fadhil lahir di tahun pertama kami menikah, dia memutuskan untuk meneruskan kuliah ke jenjang S2. Saya ketar-ketir. Nggak kuliah aja, waktunya sebagian besar sudah hampir habis di kantor. Ini pake nambah kuliah lagi? Sempet pulang dan nyium istri, gak? Eaaa! Waktu itu saya tanya, ngapain sih ngambil kuliah lagi? Kan udah punya kerjaan. Kan biayanya gede. Kan jadi makin susah ngatur waktu buat anak. Kan, kan, kan yang lainnya menyusul. Dia bilang, sejak awal dia sudah bercita-cita untuk tidak berhenti mencari ilmu sampai jenjang S1. Dia ingin mempersembahkan ijazah S2-nya untuk kedua orang tuanya. Jadi ini sudah ada dalam agendanya sejak sebelum mengenal saya.
Maka dengan banyak perjanjian, mulailah dia bekerja sambil kuliah S2 di Universitas Indonesia. Weekend dimanfaatkan untuk kuliah dan mengerjakan tugas. Waktu untuk keluarga diselipkan di mana saja kami bisa menyelipkan. Kami bertiga (saya, suami dan Fadhil), menyesuaikan dengan ritme kerja dan kuliahnya yang padat. Satu hal yang selalu saya tanamkan dalam diri saya sejak remaja, nikmati apa yang sedang kamu lakukan atau tidak usah lakukan sama sekali. Nggak pakai lama, karena kondisi seperti itu akan kami hadapi paling tidak selama 3 tahun ke depan, saya mulai bisa enjoy dengan kesibukannya.
Tiga setengah tahun kemudian, dia berhasil mendapatkan gelar S2-nya. Wartawan sepak bola bergelar S2 bidang Hukum Bisnis. Teu nyambung? Eyym! Hahahaha. Tapi dia bahagia. Kebahagiaan terbesarnya adalah ketika akhirnya dia bisa mempersembahkan ijazah S2 untuk Mamah (ibu mertua saya) tercinta. Saya? Untunglah saya perempuan yang punya pola pikir sederhana, suami bahagia, otomatis saya bahagia. Nggak kepikiran tuh, buat apaan gelar S2 itu? Ah, sampai pada waktu yang ditentukan olehNya, apa pun itu ketentuan Allah, pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya. Santai aja, jek.
Saat saya hamil Safina, dia pindah kerja ke media lain, Top Skor. Irama hidup keluarga kami pun ikut berubah drastis, karena bekerja di majalah dengan di harian (koran) jelas beda. Yang tadinya deadline dua minggu sekali, sekarang SETIAP HARI. Perlahan posisinya merangkak di tengah-tengah struktur perusahaan. Kenaikan pemasukan keluarga, harus dibayar tunai dengan kerja keras yang tak kalah besarnya. Saya makin terampil mengelola hari tanpa kehadirannya mulai sore hari hingga pagi menjelang. Kami mulai luwes mengatur tugas-tugas keluarga dengan jam kerjanya yang tidak biasa itu.
Ah, sedih da' kalau diceritain semua, mah! Wakakakak! Pernah beberapa kali jatuh dari motor karena mengantuk pulang kerja. Pernah nggak bisa nungguin anak di rumah sakit karena ngejar deadline. Tapi alhamdulillaah, kita cepet lupa yang sedih-sedih. Yang diinget seneng-senengnya aja. Seneng waktu dia bisa ngelencer sampai Afrika Selatan dan Ukraine untuk meliput pertandingan bola. Seneng lihat dia bisa selfie-selfie sama pemain bola terkenal idolanya. Seneng waktu dia bisa nongol di layar kaca sebagai pengamat sepak bola dan komentator pertandingan. Perlahan, sosoknya sebagai jurnalis sepak bola diakui oleh kalangan yang lebih luas dari rekan sekantornya. Saya kecipratan bangga, walaupun nggak ada seupil-upilnya pengetahuan saya tentang sepak bola.
This post I dedicated to my husband, my role model, my partner, my best friend. I'm proud of you!
Saya selalu percaya, jika kita melakukan sesuatu dengan niat karena Allah dan melakukannya sepenuh hati, kebaikan-kebaikan akan selalu menghampiri. Bisa jadi kebaikan-kebaikan itu bukan berbentuk materi, melainkan kebahagiaan hidup yang tidak terbeli oleh emas dan berlian.
Laki-laki ini bekerja keras dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Merintis karirnya dari titik terendah dalam struktur perusahaan. Mengejar nara sumber ke lapangan, dikejar waktu tenggat, menerjang banjir karena berita tak bisa menunggu surut, bekerja sambil kuliah, mengantar anak sebelum ke kantor. Saya saksinya. Jatuh bangun, jatuh sakit, jatuh dari motor, tapi dia tidak pernah berhenti jatuh cinta pada profesinya.
Tidak jarang dia merasa putus asa jika halangan dan kesulitan menghampiri. Tapi kami saling mengingatkan, bahwa tidak semua orang seberuntung dirinya. Memiliki profesi yang dicintai sejak ia masih bocah. Mendapat bonus melihat berbagai sudut negara orang yang sebelumnya bahkan tak pernah melihat lokasinya di peta dunia.
Tak mengapa kurang waktu tidur dua tiga jam. Tak mengapa kadang upah tak sesuai usaha. Tak mengapa juga saya ikut mencari karena toh itu "keberuntungan" saya sebagai pendampingnya. Yang penting, dia mencintai apa yang dilakukannya dan melakukannya karena Allah, maka biarlah Allah yang mengatur segalanya untuk kami.
Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan rahmatNya padamu. Semangat terus, Bang!
15 years as a football journalist. You don't have to prove anything to anyone anymore. Keep doing what you do and keep being what you are.